Ilmu Kita-Kita
Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » MUSIK DAN POTRET KEHIDUPAN

MUSIK DAN POTRET KEHIDUPAN


Oleh : Amien Tohari
Mungkin semua mengangguk membenarkan bahwa hampir semua lumrah dengan musik. Musik mengalun dalam detak jantung kehidupan sehari-hari. Dimana-mana, pesta atau apapun acaranya tak lengang dari alunan nada yang bernama musik. Hampir semua orang menyukainya sesuai selera genre musik masing-masing mereka. Musik adalah suara yang tak biasa. Musik adalah susunan nada dan irama yang berjalin berkelindan menghasilkan sebuah bunyi yang syahdu didengar. Tidak hanya keindahan, jalinan itu memberi kekuatan, ketenangan, inspirasi dan segalanya. Tergantung dalam kondisi seperti apa mereka menerima alunan suara itu. Musik menggugah jiwa.
Tapi musik bukan semata soal hiburan, mainan jiwa dan segala yang bernuansa estetika. Musik berjalinan erat dengan kehidupan sosial. Musik menyerap denyut nadi kehidupan, diramunya dalam sebuah lirik, diperindahnya dengan nada, dan lalu diperdengarkannya sehingga banyak orang menikmati. Mendengar musik semacam ini, orang-orang tidak hanya mendapati alunan keindahan melainkan syair yang sarat arti, kegelisahan sang musisi, dan fenomena kehidupan yang tak jarang kita abaikan. Musik ini menggelitik kesadaran, perasaan dan mengajak kita menyerap kehidupan.
Bagi musisi (sejenis) ini, potret kehidupan adalah sumber inspirasi. Sebut saja sebagian seperti sekumpulan pengamen jalanan, rumah-rumah kumuh berpenyakitan, perempuan jelita yang bekerja demi sesuap makan, demi anak dan masa depan, anak kecil kumal penjual koran dan segala kerasnya kehidupan, adalah satu potret sedih kehidupan. Sedangkan korupsi, pencitraan, hingar-bingar kekuasaan, dan adu lisan demi kehormatan para pejabat publik adalah potret lain yang memuakkan. Semua itu ia serap dengan kedalaman hati dan ia rangkum dalam syairnya.
Alhasil, pada satu sisi yang terdengar adalah narasi liku-liku kehidupan, jerit yang tak kunjung padam, dan  segala yang menyayat jiwa semata agar publik pendengar tergerak hatinya. Dan pada sisi lain, kerakusan, ketakjujuran, dan segala cerita  memuakkan para elit. Pendengar tidak lain kecuali semakin kritis dan, pada tingkat yang sebenarnya tidak kita harapkan, kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Apalah arti pemerintah, apabila rakyat (yang diperintah) sudah semakin kehilangan kepercayaan kepada mereka?
Di Indonesia, kita mengenal banyak musisi semacam ini. Tembang musiknya yang kritis dan sarat dengan problem sosial menggelegar di jagad nusantara ini. Sebut satu saja, Iwan Fals, sang penggubah “Manusia Setengah Dewa”. Ia adalah ikon dari musik jenis ini. Musiknya terus mengalir sepanjang waktu. Pengagumnnya berjumlah jutaan yang tergabung dalam komunitas yang tersebar secara nasional, dikenal dengan “OI” atau “Orang Indonesia Asli”. Lirik-liriknya, satu sisi terdengar keras, pedas, dan tegas. Tapi bagi mereka yang memberi ruang pada kejujuran, lagu-lagunya terdengar nyata dan menyentuh kesadaran jiwa. Syair yang dia gubah benar-benar mencerminkan potret riil kehidupan.
Lewat “Ujung Aspal Pondok Gede”, sang musisi setengah Dewa ini berhasil mengangkat potret nyata masyarakat pribumi perkotaan yang – sebagai akibat serakahnya pembangunan – seinci demi seinci luas kampungnya terenggut dan akhirnya sepenuhnya hilang dari tangannya. Wajah perkampungan yang sebelumnya penuh “rimbun nan anggun” kontras berubah kerasnya kota manakala bermunculan angkuh tembok pabrik berdiri. Pada potongan lirik yang lain, dia bernyanyi: sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota, terlihat murung wajah pribumi, terdengar langkah hewan bernyanyi.
Pada lagu berjudul “Sore Tugu Pancoran”, si Budi adalah potret anak kecil perkotaan. Korban kerasnya kehidupan kota dimana dia harus memikul sendiri segala derita dan tanggung jawabnya. Ia mengerjakan segala apa yang bisa dikerjakan termasuk menjadi penjual jajakan koran. Ia berjuang sendiri berkelahi dengan waktu demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Masih banyak lagi lagu-lagunya yang tak kalah menggugah.
Iwan Fals tidak sendirian. Musisi yang juga peka dan kerap mengangkat potret kehidupan sosial tidaklah sedikit. Kita mengenal grup musik rock God Bless yang menyindir orang-orang yang tergila-gila kehidupan kota lebih daripada kampungnya. Lebih baik di sini, rumah kita sendiri. Segala nikmat dan anugerah yang kuasa. Semuanya ada di sini. Sekelumit potongan dari lagu “Rumah Kita”nya, dan banyak lagi. Kita mengenal musisi Ebiet G. Ade, dan banyak yang lainnya.
Pada musisi-musisi semacam mereka, kita patut berterima kasih. Mereka berkarya bukan semata demi kecemerlangan karirnya. Lirik-lirik lagunya yang sarat moral dan cermin dari potret kehidupan sosial membuktikan kenyataan lain: dia bernyanyi dan menumbuhkan kesadaran publik sekaligus. Mereka telah menggugah kesadaran hati jutaan pengagumnya. Mereka mengajak publik pendengar untuk merasakan kesedihan dan keprihatinan saudara-saudaranya yang kebetulan hidup dalam penderitaan. Jutaan umat manusia tersentuh dan tersadarkan lewat satu sentuhan liriknya. Kita tidak dapat lain kecuali mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan bukan sekedar panggilan karir dan kekayaan materiil melainkan panggilan jiwa.
Ciputat, 16 Juni 2014

Ilmu Politik FISIP
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Ka-conk Mahfud
Copyright © 2014. Suara AF-IC - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger