Ilmu Kita-Kita
Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Sepenggal Cerita Mahasiswa Penghabisan

Sepenggal Cerita Mahasiswa Penghabisan



Pagi baru beranjak dan embun baru saja menghilang. Itu terjadi di salah satu belahan bumi yang kemudian, entah kesepakatan siapa,  kita menyebutnya Ciputat. Seorang lelaki bertelanjang dada telah siap dengan persenjataannya, segelas kopi dan sebungkus rokok “basa-basi”. 

Tapi di pagi yang cerah itu, tidak nampak lelaki itu hanya sekedar mau menemani pagi. Di tangannya tergenggam pena dan sebuah buku catatan harian yang tak boleh dibilang baru.

Dari raut wajahnya, tampak dia menyimpan pikiran keras dan gejolak batin yang harus segera ditumpahkan pagi itu. Benar saja, dia lalu memulai sebuah kalimat pembuka:  

“Belakangan ini hari-hariku di kampus berjalan tak seriang dulu. Kemegahan dan kebesaran kampus UIN, yang dulu mampu memukauku, menggerakkan seulas senyum di bibirku dan menggodaku dengan harapan-harapan indah masa depan. Kini rasanya bagiku, bayangan itu terlampau jauh. Bayangan-bayangan itu tetaplah bukan kenyataan dan tidak mampu memulihkan suasana kejiwaanku di sisa-sisa penghabisan masa perkuliahan”.

“Apa yang tampak di depan mata hari ini adalah bagaimana secepat mungkin menyusul teman-temanku yang telah hilang entah kemana. Suatu harapan yang lebih realistis ketimbang godaan-godaan keindahan tiga tahun silam”.


Lelaki itu terhenti sejenak. Ada yang lupa, dia belum menyulut rokoknya. Pena digenggamnya terpaksa diistirahatkan. Lalu dia masuk kedalam kamar mencari-cari korek api yang dia lupa tempat menaruhnya semalam.

Tak lama dia keluar lagi.

“Memang kondisi fisik lingkungan dan bangunan kampusku telah banyak berubah”, tulisnya setelah satu hisapan rokok dan satu seruputan kopi.

“Beberapa gedung memang telah mendapat pembenahan secukupnya. Aku sendiri sudah terbiasa merasakan gedung yang berbeda-beda: pernah kuliah di gedung psikologi, farmasi, dan terakhir gedung perpus pasca sarjana sebelum akhirnya memakai gedung FISIP yang baru”.

“Aku pun juga telah merasakan berbagai perubahan kebijakan-kebijakan kampus. Misalnya, soal kebijakan parkir yang mulai berbayar meski sempat beberapa kali memperoleh protes dari mahasiswa (sekarang ganti lagi kebijakan baru: tiket berlaku sekali masuk meski juga tak mencegah adanya kehilangan), serta kebijakan-kebijakan kampus lainnya”.

Lelaki itu terhenti. Matanya memperhatikan kalimat demi kalimat yang baru saja meluncur bebas dari pikirannya. Matanya terhenti pada kalimat soal kebijakan parkir. Kini dia bimbang antara meneruskan atau mengubah kalimat yang bernuansa sindiran itu. Ah, desahnya, apa boleh buat. Aku menulis kenyataan apa adanya, tidak mengurangi atau melebih-lebihkan.

Setelah merasa cukup, dia melanjutkan lagi:

“Tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku. Melainkan ini: jadwal perkuliahan masih begitu padat. Kenyataan ini memaksaku menghabiskan hari-hariku untuk bangun pagi, ke kampus, mengikuti perkuliahan dari pagi sampai sore, pulang kosan, mengerjakan tugas, main-main sebentar dan mengambil istirahat secukupnya untuk dapat menghemat energi demi kuliah hari-hari berikutnya”.

Kenyataan dalam penggalan-penggalan pragraf itu mungkin terasa lumrah ketika itu terjadi tiga tahun yang lalu, ketika dia baru menyandang gelar mahasiswa. Ketika itu, orang-orang yang dia papasi adalah teman-teman seangkatannya, mereka memanggil namanya dengan lepas, dan tak terasa jarak kaku antara mereka.

Tapi suasana perasaan menjadi berbeda ketika itu terjadi saat ini, “pada saat mana”, tulisnya melanjutkan“kawan-kawanku bergiliran menghilang, satu persatu sibuk dengan proposal dan skripsi. Sebentar tampak di kampus untuk sekedar bimbingan secukupnya kemudian sidang, lantas hilang lagi entah kemana sampai tiba hari dimana aku harus mengucapkan selamat dengan senyuman, kesabaran dan menikam gejolak perasaan : Selamat Kawanku, Engkau telah Wisuda. Sekarang Engkau Sarjana”.

Laki-laki itu memberi tekanan khusus pada kalimat terakhir itu. Dia tahu impiannya sekarang tertuju pada kata terakhir itu, dia harus cepat-cepat lulus.

“Sementara aku terus bergelut dengan rutinitas kampus, aku harus berpapasan dan berinteraksi dengan mahasiswa baru. Dan setiap kali berpapasan, mereka memanggilku “bang” atau “abang”, sebuah nama baru yang melekat dalam hari-hari belakanganku ini. Barangkali bagi mereka, itu sapaan terbaik kepada senior dari seorang yang merasa dirinya junior. Tapi bagiku, itu terasa semakin menegaskan kenyataan bahwa aku sudah terlampau tua di kampus”.

Pikirannya kini terlempar pada masa tiga tahun yang lalu, di masa awal perkuliahan. Seorang anak lelaki polos masuk kelas, datang tepat waktu meski tidak jarang datang terlambat. Dia mengambil tempat di bagian depan, kadang di tengah atau di belakang, tanpa peduli menjadi pusat perhatian atau tidak sama sekali. Lalu dia bertanya lepas dan penuh percaya diri meski tak jarang mengundang tawa seisi kelas karena mengajukan pertanyaan-pertanyaan konyol, berdebat dengan dosen demi menunjukkan eksistensi meskipun barangkali “ngelantur”, jauh dari pokok pembahasan atau mengutip teori-teori secara keliru. Laki-laki itu tak peduli. Bahkan baginya, pengalaman itu memiliki kesan dan keindahan tersendiri.

Itu terjadi kurang lebih tiga tahun yang lalu. Namun sekarang, di sisa penghabisan kuliah ini, di kelas yang tak lagi duduk berdampingan dengan teman-teman seangkatannya melainkan dengan adik-adik kelasnya, kejadian itu tak perlu terulang lagi, pikirnya. Cukuplah itu sebagai masa lalu yang indah dan mengesankan.

“Sekarang” tulisnya, “aku harus masuk kelas tepat waktu agar tak menjadi pusat perhatian karena datang terlambat. Aku harus memilih pertanyaan-pertanyaan yang kurang lebih terdengar berkualitas dan elegan atau lebih baik diam. Aku juga harus memilih tempat tertentu agar tak terlalu menjadi pusat perhatian dosen. Tetapi sekali terlihat dosen atau ditunjuk untuk memberi argumen, tak ada tindakan yang lebih baik kecuali memberikan argumen yang terbaik dengan tenang dan penuh kehati-hatian. Dan karena itu, aku harus meluangkan waktu beberapa menit untuk membaca sebelum masuk kelas”.

Dua batang rokok telah habis. Secangkir kopi telah kehilangan aroma hangatnya dinikmati udara pagi yang dari tadi mengintipnya. Matahari kini beranjak makin tinggi dan menyengat kulit legam lelaki itu. Aku mengerti, ucapnya sunyi, dia mengajakku mengakhiri cerita yang mungkin menjadi panjang bila aku diamkan. 

Martin (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah)
Share this article :

6 komentar:

Anonim mengatakan...

cek

Unknown mengatakan...

keren ceritanya bunk

Rayontanmalaka mengatakan...

semangat bank,,, semoga cepat lulus,,,

CorelDraw Photoshop Tutorial mengatakan...

kenapa nggak jadi penulis saja mas :) maaf saya baru sempat mampir

Unknown mengatakan...

masih belajar mas,,,hehe

Unknown mengatakan...

senasib bunk,,,,
hampir menua gak lulus-lulus...

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Ka-conk Mahfud
Copyright © 2014. Suara AF-IC - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger