Ilmu Kita-Kita
Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Membangun Moralitas Dengan Pendidikan

Membangun Moralitas Dengan Pendidikan

Di kehidupan modern ini, masyarakat kian maju. Tingkat aktifitas masyarakat makin intensif dengan segala kesibukannya. Hal ini dapat diketahui dengan proses dan hasil mobilisasi yang tinggi di beberapa sektor kehidupan. Sebagai bagian perangkat pembangunan, pergaulan sosial dan teknologi, menjadi hal menarik untuk dikaji. Sebab, perkembangan masyarakat tidak bisa terlepas dari kedua hal tersebut. Secara otomatis, perangkat pembangunan tersebut membuat bermacam dampak nyata. Tidak menutup kemungkinan, dampak buruk juga akan menjadi efek sampingnya.
Efek negatif yang ditimbulkan dari perangkat pembangunan ini adalah, implikasi dari penggunaan perangkat yang tidak benar. Kecenderungan yang terjadi, perangkat pembangunan yang salah guna tersebut, membawa masyarakat pada pembentukan lingkungan negatif. Di antaranya: krisis etika, pelanggaran norma, hingga degradasi moral yang sangat mengancam harmonisme kehidupan. Gejala-gejala ini, muncul di beberapa daerah yang penduduknya mayoritas gagap teknologi. Artinya, teknologi yang semakin canggih, tidak diimbangi dengan cara penggunaannya yang benar, efektif, dan efisien. Misalnya, di daerah Sleman, Jogjakarta.
Hal ini tentu sangat membahayakan, jika negatifisme (akibat buruk salah guna teknologi) dibentuk oleh proses alamiah karena penggunaan perangkat yang salah. Mengutip pendapat Muhammad Nuh, Negatifisme tidak hanya menggusur adat dan norma baik yang telah berlaku. Tetapi, Negatifisme hadir sebagai bentuk (virus) baru yang merusak tatanan nilai-nilai, mendekonstruksi ketentuan-ketentuan norma, bahkan tidak segan-segan mengusung budaya baru yang bertentangan dengan budaya lokal (local wisdom).
Contoh nyata dari Negatifisme adalah, maraknya perbuatan kejahatan, tindakan asusila, dan kriminal akibat salah guna teknologi. Pada waktu penulis masih SLTP (sekitar tahun 1996), penulis dan rekan, merasa malu/tabu membicarakan hal-hal yang berbau seks. Akan tetapi hal itu berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Siswa setingkat SMP, seolah kehilangan rasa malu, bahkan, merasa bebas tanpa dosa berbicara dengan perempuan (non-muhrim) di tempat umum. Tidak hanya berani berbicara, namun juga praktek-praktek (berpacaran), seolah-olah bak jamur di musim hujan. Fenomena ini, dilatarbelakangi oleh penggunaan teknologi yang salah. Siswa yang paham teknologi, menggunakan kesempatan itu untuk mencari keuntungan pribadi, bahkan tidak segan menjadikan orang lain sebagai korban.
Tidak kalah menariknya lagi tentang teknologi internet (social media: facebook, twitter, dan lain-lain). Jika kita amati dengan cermat, keganjilan yang terjadi amatlah menyesakkan dada. facebook dan twitter menyita waktu siswa lebih banyak daripada belajar. Anak remaja lebih tahan facebook-an dan bermain game-net daripada membaca buku. Kalau kita perhatikan anak remaja lebih banyak mengeluh lewat facebook ketimbang doa sesudah shalat. Lebih memilih lari ke dunia maya daripada berani menghadapi realita dunia nyata.
Fakta yang cukup ironis. Perkembangan teknologi yang pesat dan menyeluruh sampai ke pelosok desa tersebut, tidak diimbangi dengan norma dan hukum, yang mengarahkan pada terbentuknya insan sadar teknologi, dan pemanfaatannya secara tepat dan efisien. Teknologi berubah menjadi momok yang menganggu stabilitas belajar, mengurangi keakraban sosial, menghantui moralitas remaja, dan bahkan acap kali menjadi penyebab degradasi moral.
Beberapa hal penting yang perlu kita perhatikan untuk mengembalikan moral baik (akhlak karimah) pada remaja adalah melalui masyarakat. Secara sadar, masyarakat harus kembali menghidupkan norma-norma yang telah mulai redup. Seperti halnya tentang keharusan sopan santun, budaya malu, dan menghormati yang lebih tua. Aturan-aturan normatif masyarakat mengenai tata kehidupan positif serta bersifat konstruktif ini, adalah kunci untuk membuka kesadaran komunal. Masyarakat harus tegas dan berani menghukum para pelanggar norma tersebut. Ini yang pertama.
Kedua, dengan jalan pendidikan. Institusi pendidikan yang mempunyai kewajiban mendidik, harus responsif terhadap problematika remaja sekaligus bertanggungjawab memberi solusi. Jika selama ini institusi pendidikan hanya mementingkan nilai tinggi dan prestasi intelektualitas belaka, ini tentu akan mengesampingkan pembinaan kecerdasan moral dan etika yang pada hakikatnya lebih penting, guna sebagai bekal hidup bermasyarakat. Institusi pendidikan sudah sepatutnya sedini mungkin membina karakter peserta didik.
Pendidikan karakter ini menjadi sangat penting, mengingat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya berusaha untuk melahirkan manusia yang jujur, toleran, dan saling menjunjung tinggi etika dan moral. Menurut Suyadi, dengan pendidikan karakter ini, diharapkan amanah pendidikan nasional dapat tercapai, dan nantinya membawa masyarakat yang kritis  dan peka terhadap gejala-gejala yang menyimpang dalam sebuah masyarakat.
Institusi pendidikan mengemban tanggung jawab yang besar. Perannya sangat urgen dalam mewujudkan manusia berkarakter. Hal ini, tentu mengharuskan lembaga pendidikan bekerja ekstra dalam mengatasi permasalahan tersebut. Jangan sampai lembaga pendidikan memberikan contoh yang tidak baik. Misalnya saja, dengan perekrutan siswa yang tidak fair dengan cara memaksa, atau mempersulit siswa dalam pengambilan ijazah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin permasalahan ini dianggap sepele, tetapi jika praktek ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pada suatu saat lembaga pendidikan menjadi biang dari permasalahan. Untuk itu perlu pengelola yang sehat sehingga out put-nya pun berkualitas.
Ketiga, tokoh masyarakat yang menjadi ikon dan panutan. Sebut saja seorang kiai. Menurut Fuad Hassan, kiai adalah tokoh sentral yang kharismatik dan sangat berpengaruh di daerah ini. Untuk memaksimalkan peran pendidikan kiai ini, Kiai diharuskan untuk turun lapangan dan membaur bersama masyarakat. Melaksanakan pendidikan informal bersama masyarakat. Seorang kiai haram untuk duduk manis di singgasana, hanya untuk mengajar santri yang ada perlu dengannya. Kiai dituntut untuk memahami teknologi dan menjadi operator yang mengawasi aktivitas anak muda di dalamnya. Dengan kata lain, kiai harus menguasai social media yang berfungsi mengontrol dan memproteksi (control and protect) terhadap gempuran budaya-budaya yang negatif.
Oleh : Abd. Gafur (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Share this article :

1 komentar:

MHI mengatakan...

Bener banget ^^ Ishmah setuju!

Miris memang melihat perkembangan teknologi yang pesat-seperti yang dikatakan-tidak diseimbangi oleh norma

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Ka-conk Mahfud
Copyright © 2014. Suara AF-IC - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger