(Cerpen oleh Martin)
TULISAN itu sudah rampung sejak jam dinding
berdenting pada kali kesebelas. Saat itu, bila kubuka jendela, aku jadi tahu
kegelapan di luar kian mencekam. Sinar-sinar lampu di tepi-tepi jalan tak mampu
menjangkau luasnya kegelapan malam. Lalu lalang kendaraan sudah tak terlihat
kecuali satu dua diantara jeda panjang. Sisa-sisa keramaian semakin lama
semakin hilang dilahap malam. 
Di sela denting itu, aku merasa seluruh badanku terasa
ditusuk ribuan busur. Ada terasa nyeri, pegal dan lelah yang teramat sangat.
Sudah berkali-kali aku berusaha melepas penat dengan mencoba berganti posisi
duduk. Kadang aku diam sejenak untuk membiarkan kelelahan sirna. Kadang aku
coba menggerak-gerakkan seluruh badan. Pada saat tertentu aku juga mengalihkan
pandanganku pada sisi lain untuk menghindari cahaya monitor lama menembus
mataku. 
Entah sudah kali keberapa pula aku ke dapur untuk
menghangatkan badanku dengan teh hangat. Sekali mengguyur kerongkongan dan
mengalir ke tubuh, terasalah kehangatan tubuhku. Cesss!! Satu energi baru siap
bertarung dengan malam. 
Jam kembali berdenting. Kali ini berdenting sekali.
Penasaran, aku mengalihkan pandangku pada jam dinding yang baru saja berdenting
untuk memastikan apa yang aku dengar tak salah. 01.00 WIB. Tak salah. Kembali
aku menggeliat penat. Tapi aku sadar, keletihan tidak boleh mengalahkan
keinginan untuk merampungkan tulisanku malam ini. Keinginan itu memberi energi
positif. Kantuk dan letihku berhasil aku redam.
Penulis besar saja tidak lupa untuk mengoreksi tulisannya,
pikirku meyakinkan diri sendiri. Dia akan mengoreksi kembali hanya untuk
memastikan bahwa tulisan yang bakal dibaca publik sudah cukup sempurna. Aku
harus belajar dari kegigihan penulis besar. Aku harus mengoreksi tulisan ini
sekali lagi. Setidaknya untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan yang mungkin
luput dari perhatianku.
Setelah benar-benar yakin untuk mencermati lagi tulisan yang
sudah rampung, aku duduk kembali pada posisi semula. Setelah satu seruputan teh
panas yang lalu mengalir menghangatkan tubuhku, aku mula-mula mencermati kata
demi kata untuk memastikan seluruhnya sesuai dengan pedoman EYD, kemudian aku
mencermati kalimat demi kalimat untuk memastikan struktur tulisan yang aku
pakai tidak aneh-aneh. Dan pada akhirnya aku harus mencermati pragraf demi
pragraf untuk mengetahui kepaduan pragraf demi pragraf di tulisan itu.
Selain itu, aku juga menimbang-nimbang apakah lead (kalimat
pembuka) dalam tulisanku cukup menarik untuk dipertahankan. 
“Tulisan pembuka (lead) dipandang penting karena dia yang
paling menentukan apakah pembaca akan terus membaca atau berhenti di situ”.
Kata-kata itu masih kuingat meskipun aku lupa dari buku mana aku pernah
membacanya. 
Dan setelah proses yang memakan waktu kurang lebih setengah
jam untuk mengoreksi, kekuatan kantuk dan keletihanku tiba-tiba menjadi sangat
kuat hingga aku tak mampu lagi melawannya. Sisa amunisi dan energi positifku
dilibas begitu saja. Sebelum aku benar-benar lenyap dalam lelap, samar-samar
aku dapat menangkap sebuah kalimat Pramoedya Ananta Toer “Menulis adalah
bekerja untuk keabadian”. 
***
Perbendaharaan semangatku rasanya makin hari makin menyusut.
Entah sudah berapa kali aku kirim tulisan ke berbagai koran. Satu pun tak
kudapati dimuat. Setiap kali aku memeriksa, yang ada hanya tiada. Aku seperti
menunggu asa yang tak mungkin nyata. Tinggal utopia. 
Sejak tulisan yang terakhir, aku belum lagi berniat menulis
lagi. Istirahat, kata yang lebih lunak untuk mendefinisikan hilangnya aktifitas
menulisku. Sudah dua minggu berlalu. Aku benar-benar kehilangan motivasi untuk
kembali meracik diksi dan imaji.
“kamu kenapa?” lembut suara itu penuh kasih, muncul di balik
pintu ke kamar. Dia lalu masuk dan duduk di dekatku.
“aku sementara berhenti menulis, ma”, sebentar aku lirik
wajahnya, pikirku dia kecewa. “mungkin wawasanku masih kurang, mungkin muatan
dalam tulisan-tulisanku belum bisa bersaing. Aku perlu banyak baca lagi”. Dia
mendengarkan dan hanya tersenyum. 
“Sayang, kamu itu berbakat untuk menjadi penulis besar”, ungkapnya
lembut. Aku tahu ini cara seorang ibu menyemangati anaknya. Aku pandangi wajah
mama.
“iya, penulis besar”, ulangnya memantapkan seolah mengerti
isyarat pandangku.
“diam-diam mama sudah membaca beberapa tulisan kamu. Dan
menurut mama, semua tulisan kamu cukup bagus”. Aku hanya diam dan terus
menyimak kata demi kata yang lahir dari tutur, pikiran dan perasaan lembut
seorang ibu. Dalam keadaan letih pikiran maupun perasaan, kata-kata mama
mengalir sejuk dan pelan-pelan menebar semangat.
“kamu hanya perlu bersabar dan tekun menggali potensimu.
Teruslah menulis, hanyalah itu cara untuk menggali potensimu sebagai penulis
berbakat”. 
“tapi aku sudah coba berkali-kali...”
“mama tau, dan mama memperhatikan itu. Sebagaimana mimpi
yang lain, mimpi menjadi penulis juga butuh usaha, butuh perjuangan, sayang.
Kamu tak perlu hanya belajar teknik menulis dari para penulis besar, tapi kamu
juga perlu meneladani kerja keras mereka. Ambisi mereka. Kau harus belajar
tentang kegagalan mereka dan bagaimana mereka tetap kuat dan bersemangat
menghadapi kegagalan demi kegagalan mereka. Ingat orang yang bermental juara
adalah orang yang ketika mengalami kegagalan dia selalu bisa bangkit, jatuh dan
bangkit lagi. Begitulah cerita orang-orang hebat, anakku sayangku”. 
Kali ini di hadapan mama, aku diam saja. Kata-kata yang
lahir dari ketulusan dan kasih sayangnya terdengar wibawa. Aku hanya perlu
menyimak dan meresapi. 
“kau tak perlu merasa gagal hanya karena tulisanmu belum
dibaca publik. Kau hanya perlu memikirkan bagaimana kau bisa terus-menerus
menulis, menggali dan mengungkapkan gagasan-gagasanmu melalui tulisan. Kau tak
kan pernah rugi dengan menulis. Justru dengan menulis, pikiranmu yang tertuang
dalam tulisan akan mengabadi”.
Sampai di situ dia berhenti, tersenyum dan pergi. Aku dapat
mengerti, mama membiarkan aku menimbang-nimbang dan menentukan sendiri
keputusanku. Di kamar ini, jejak senyum dan kebijaksanaan pikirannya menemani
hari-hariku. Dan tak perlu waktu lama, kuputuskan untuk menulis lagi. 
“kau hanya perlu untuk menulis”, aku tersenyum dan langit
pagi itu kembali cerah.
Mahasiswa FISIP UIN
Syarif Hidayatullah
Ciputat, 26 Mei 2014


1 komentar:
ceritanya sangat motivatif,,begitu bermakna dan tersusun rapi....
Posting Komentar